Bab I
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Kode Etik Dapat diartikan pola aturan, tata cara, tanda,
pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan
pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku.
Dalam kaitannya dengan profesi, bahwa kode etik merupakan
tata cara atau aturan yang menjadi standart kegiatan anggota suatu profesi.
Suatu kode etik menggambarkan nilai-nilai professional suatu profesi yang
diterjemahkan kedalam standaart perilaku anggotanya. Nilai professional paling
utama adalah keinginan untuk memberikan pengabdian kepada masyarakat.
Kode etik dijadikan standar aktvitas anggota profesi, kode
etik tersebut sekaligus sebagai pedoman (guidelines). Masyarakat pun menjadikan
sebagai perdoman dengan tujuan mengantisipasi terjadinya bias interaksi antara anggota
profesi. Bias interaksi merupakan monopoli profesi., yaitu memanfaatkan
kekuasan dan hak-hak istimewa yang melindungi kepentingan pribadi yang
betentangan dengan masyarakat.
2. Tujuan Penulisan
1. Sebagai bahan pembelajaran
bagi mahasiswa.
2. Untuk memenuhi tugas yang
diberikan oleh dosen pengajar.
3. Metode Penulisan
Pengumpulan data dari membaca dari berbagai sumber media,
terutama buku tentang kode etik.
Bab II
Pembahasan
1. Kode Etik Keperawatan
Kode etik adalah pernyataan standar profesional yang
digunakan sebagai pedoman perilaku dan menjadi kerangka kerja untuk membuat
keputusan.
Aturan yang berlaku untuk seorang perawat Indonesia dalam
melaksanakan tugas serta fungsi perawat adalah kode etik perawat nasional
Indonesia, dimana seorang perawat selalu berpegang teguh terhadap kode
etik sehingga kejadian akan pelanggaran etik dapat dihindarkan dan
diminimalisasi.
Tanggung jawab utama perawat adalah meningkatkan kesehatan,
mencegah timbulnya penyakit, memelihara kesehatan, dan mengurangi penderitaan.
Untuk melaksanakan tanggung jawab utama tersebut, perawat harus meyakini bahwa:
a. kebutuhan terhadap layanan keperawatan di berbagai tempat
adalah sama;
b. pelaksanaan praktik keperawatan dititikberatkan pada penghargaan terhadap
kehidupan yang bermartabat dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
c. dalam melaksanakan pelayanan kesehatan dan/atau keperawatan pada individu,
keluarga, kelompok, dan masyarakat, perawat mengikutsertakan kelompok dan
instansi terkait.
Perawat, individu, dan anggota kelompok masyarakat Tanggung
jawab utama perawat adalah melaksanakan asuhan keperawatan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, dalam menjalankan tugasnya, perawat
perlu meningkatkan kondisi kesehatan lingkungan dengan menghargai nilai-nilai
yang ada di masyarakat, adat istiadat, kebiasaan, dan kepercayaan individu,
keluarga, kelompok, serta masyarakat yang menjadi pzsien/kliennya.
Perawat dapat memegang teguh rahasia pribadi (privasi) dan
hanya dapat memberikan keterangan bila diperlukan oleh pihak yang
ber-kepentingan atau pengadilan. Perawat dan pelaksanaan praktik keperawatan
Perawat memegang peranan penting dalam menentukan dan melaksanakan standar
praktik keperawatan guna mencapai kemampuan yang sesuai dengan standar
pendidikan keperawatan.
Perawat dapat mengembangkan pengetahuanii yang dimilikinya
secara aktif untuk menopang perannya dalam situasi tertentu. Perawat sebagai
anggota profesi setiap saat dapat mempertahankan sikap sesuai dengan standar
profesi keperawatan.
Perawat dan lingkungan masyarakat Perawat dapat memprakarsai
pembaruan, tanggap, mempunyai inisiatif, dan dapat berperan serta aktif dalam
menemukan masalah kesehatan dan masalah sosial yang terjadi di masyarakat.
Perawat dan sejawat Perawat dapat menopang hubungan kerja
sama dengan teman sejawat, balk tenaga keperawatan maupun tenaga profesi lain
di luar keperawatan. Perawat dapat melindungi dan menjamin hak seseorang yang
merasa terancam dalam masa perawatannya.
Perawat dan profesi keperawatan Perawat memainkan peran yang
besar dalam menentukan pelaksanaan standar praktik keperawatan dan pendidikan
keperawatan. Perawat diharapkan ikut aktif dalam pengembangan pengetahuan guna
menopang pelaksanaan perawatan secara profesional. Perawat, sebagai anggota
organisasi profesi, berpartisipasi dalam memelihara kestabilan sosial dan
ekonomi sesuai dengan kondisi pelaksanaan praktik keperawatan.
2. KODE ETIK KESEHATAN MASYARAKAT
Mandat untuk memastikan dan melindungi kesehatan masyarakat
adalah salah satu yang inheren moral. Ini membawa dengan itu kewajiban untuk
menjaga kesejahteraan masyarakat, dan itu berarti kepemilikan unsur kekuasaan
untuk melaksanakan mandat itu. Kebutuhan untuk menjalankan kekuasaan untuk
menjamin kesehatan masyarakat dan, pada saat yang sama, untuk menghindari
penyalahgunaan kekuasaan tersebut adalah atas inti dari etika kesehatan
masyarakat.
Sampai saat ini, sifat etis dari kesehatan masyarakat secara
implisit diasumsikan bukan secara eksplisit dinyatakan. Semakin, bagaimanapun,
masyarakat menuntut perhatian yang jelas dengan etika. Tuntutan ini timbul dari
kemajuan teknologi yang menciptakan kemungkinan baru dan, dengan mereka, dilema
etika baru, tantangan baru bagi kesehatan, seperti munculnya HIV; dan
penyalahgunaan kekuasaan, seperti studi Tuskegee sifilis.
lembaga medis telah lebih eksplisit tentang unsur-unsur
etika praktek mereka daripada mempunyai lembaga kesehatan masyarakat. Namun,
masalah kesehatan masyarakat tidak sepenuhnya sejalan dengan orang-orang
kedokteran. Jadi, kita tidak bisa hanya menerjemahkan prinsip-prinsip etika
medis untuk kesehatan masyarakat. Berbeda dengan kedokteran, kesehatan
masyarakat lebih prihatin dengan populasi dibandingkan dengan individu, dan
banyak lagi dengan pencegahan daripada mengobati. Kebutuhan untuk
mengartikulasikan etika berbeda untuk kesehatan masyarakat telah dicatat oleh
sejumlah profesional kesehatan masyarakat.
Sebuah kode etik untuk kesehatan masyarakat dapat
memperjelas elemen khas kesehatan masyarakat dan prinsip-prinsip etis yang
mengikuti dari atau menanggapi elemen-elemen. Hal ini dapat membuat jelas
kepada penduduk dan masyarakat cita-cita lembaga kesehatan masyarakat yang
melayani mereka, cita-cita yang lembaga-lembaga dapat dipertanggungjawabkan.
PRINSIP ETIS PRAKTEK KESEHATAN MASYARAKAT
1. Kesehatan masyarakat terutama harus membahas
penyebab dasar penyakit dan persyaratan untuk kesehatan, yang bertujuan untuk
mencegah hasil kesehatan yang merugikan.
2. Kesehatan masyarakat harus mencapai kesehatan
masyarakat dengan cara yang menghormati hak-hak individu dalam masyarakat.
3. Kebijakan kesehatan masyarakat, program, dan
prioritas harus dikembangkan dan dievaluasi melalui proses yang menjamin
kesempatan untuk masukan dari anggota masyarakat.
4. Kesehatan publik harus mengadvokasi, atau bekerja
untuk pemberdayaan, anggota masyarakat disenfranchised, memastikan bahwa sumber
daya dasar dan kondisi yang diperlukan untuk kesehatan dapat diakses oleh semua
orang di masyarakat.
5. Kesehatan masyarakat harus mencari informasi yang
dibutuhkan untuk melaksanakan kebijakan yang efektif dan program yang
melindungi dan meningkatkan kesehatan.
6. Publik institusi kesehatan harus menyediakan
masyarakat dengan informasi yang mereka miliki yang diperlukan untuk keputusan
tentang kebijakan atau program-program dan harus mendapatkan persetujuan
masyarakat untuk pelaksanaannya.
7. Umum lembaga kesehatan harus bertindak secara tepat
waktu pada informasi yang mereka miliki dalam sumber daya dan mandat yang
diberikan kepada mereka oleh masyarakat.
8. program kesehatan umum dan kebijakan harus
menggabungkan berbagai pendekatan yang mengantisipasi dan menghormati nilai-nilai
yang beragam, keyakinan, dan budaya dalam masyarakat.
9. Program kesehatan masyarakat dan kebijakan yang
harus dilaksanakan dengan cara yang paling meningkatkan lingkungan fisik dan
sosial.
10. Publik institusi kesehatan harus melindungi kerahasiaan
informasi yang dapat membawa merugikan individu atau komunitas jika dibuat
publik. Pengecualian harus dibenarkan atas dasar kemungkinan tinggi
membahayakan signifikan terhadap individu atau orang lain.
11. Publik institusi kesehatan harus memastikan kompetensi
profesional karyawan mereka.
12. Lembaga kesehatan masyarakat umum dan karyawan
mereka harus terlibat dalam kerja sama dan afiliasi dengan cara yang membangun
kepercayaan publik dan efektivitas lembaga.
Kode etik, seperti yang ada sekarang, adalah pernyataan
eksplisit pertama prinsip-prinsip etika yang melekat pada kesehatan masyarakat.
Ini adalah langkah maju yang signifikan, tetapi tidak mungkin langkah terakhir.
Meskipun kode dikembangkan dengan masukan yang luas, kita akan memperoleh
wawasan baru tentang kekuatan dan kelemahan seperti yang diterapkan. Selain
itu, karena perubahan dunia, profesional kesehatan masyarakat akan menjadi peka
terhadap isu-isu etis yang baru. Kami mengantisipasi, kemudian, saat kode akan
perlu diperbarui.
Untuk memfasilitasi proses ini, kode akan diposting di Web
dalam format interaktif yang akan menyambut komentar dan akan memungkinkan
orang untuk membaca komentar orang lain '. Sebuah komite berdiri dari
Kepemimpinan Kesehatan Masyarakat Masyarakat secara aktif akan terlibat
profesional kesehatan masyarakat dan ahli etika dalam pertimbangan pembaruan
berkala untuk kode, yang akan menggabungkan pelajaran dan komentar yang
diterima dari waktu ke waktu. Dalam waktu dekat, namun, kode harus membuktikan
menjadi alat yang berguna dalam menjelaskan nilai-nilai dan tujuan dari profesi
kesehatan masyarakat dan memungkinkan untuk lebih sering mencapai cita-cita
tinggi.
Apabila kita telah memilih Sanitrarian sebagai sebuah
profesi, maka sebagai seorang sanitarain dalam melaksanakan hak dan
kewajibannya harus senantiasa dilandasi oleh kode etik serta harus selalu
menjujung tinggi ketentuan yang dicanangkan oleh profesi. Dalam pelaksanaan
tugas dan fungsinya harus selalu berpedoman pada standar kompetensi. Sedangkan
standar kompetensi itu sendiri harus senantiasa terus dilengkapi dengan
perangkat-perangkat keprofesian yang lain. Sesuai dengan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor: 373/Menkes/SK/III/2007 Tanggal : 27 Maret 2007 Tentang Standar
Profesi Sanitarian, berikut merupakan Kode Etik Sanitarian/Ahli Kesehatan
Lingkungan Indonesia.
A. KEWAJIBAN UMUM
1. Seorang sanitarian harus menjunjung
tinggi, menghayati dan mengamalkan profesi sanitasi dengan sebaik-baiknya.
2. Seorang sanitarian
harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi
yang tertinggi.
3. Dalam melakukan
pekerjaan atau praktek profesi sanitasi, seorang sanitarian tidak boleh
dipengaruhi sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian
profesi.
4. Seorang sanitarian
harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri.
5. Seorang sanitarian
senantiasa berhati-hati dalam menerapkan setiap penemuan teknik atau cara baru
yang belum teruji kehandalannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan
masyarakat.
6. Seorang hanya memberi
saran atau rekomendasi yang telah melalui suatu proses analisis secara
komprehensif.
7. Seorang sanitarian
dalam menjalankan profesinya, harus memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya
dengan menjunjung tinggi kesehatan dan keselamatan manusia, serta kelestarian
lingkungan.
8. Seorang sanitarian
harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan klien atau masyarakat dan teman
seprofesinya, dan berupaya untuk mengingatkan teman seprofesinya yang dia
ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan
penipuan atau kebohongan dalam Menangani masalah klien atau masyarakat.
9. Seorang sanitarian
harus menghormati hak-hak klien atau masyarakat, hak-hak teman seprofesi, dan
hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan klien atau
masyarakat.
10. Dalam melakukan pekerjaannya seorang sanitarian
harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan seluruh aspek
kesehatan lingkungan secara menyeluruh, baik fisik, biologi maupun sosial,
serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
11. Seorang sanitarian dalam bekerja sama dengan para
pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling
menghormati.
B. KEWAJIBAN SANITARIAN TERHADAP KLIEN / MASYARAKAT
1. Seorang sanitarian
wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya
untuk kepentingan penyelesaian masalah klien atau masyarakat. Dalam hal ia
tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau penyelesaian masalah, maka ia
wajib berkonsultasi, bekerjasama dan atau merujuk pekerjaan tersebut kepada
sanitarian lain yang mempunyai keahlian dalam penyelesaian masalah tersebut.
2. Seorang sanitarian
wajib melaksanakan profesinya secara bertanggung jawab.
3. Seorang sanitarian
wajib melakukan penyelesaian masalah sanitasi secara tuntas dan keseluruhan.
4. Seorang sanitarian
wajib memberikan informasi kepada kliennya atas pelayanan yang diberikannya.
5. Seorang sanitarian
wajib mendapatkan perlindungan atas praktek pemberian pelayanan.
C. KEWAJIBAN SANITARIAN TERHADAP TEMAN SEPROFESI
1. Seorang sanitarian
memperlakukan teman seprofesinya sebagai bagian dari penyelesaian masalah.
2. Seorang sanitarian
tidak boleh saling mengambil alih pekerjaan dari teman seprofesi, kecuali
dengan persetujuan, atau berdasarkan prosedur yang ada.
D. KEWAJIBAN SANITARIAN TERHADAP DIRI SENDIRI
1. Seorang sanitarian
harus memperhatikan dan mempraktekan hidup bersih dan sehat supaya dapat
bekerja dengan baik.
2. Seorang sanitarian
harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kesehatan lingkungan, kesehatan dan bidang-bidang lain yang terkait.
4.Kode Etik Ahli Farmasi Indonesia
Bahwasanya seorang Ahli Farmasi
Indonesia dalam menjalankan tugasnya sebagai Asissten Apoteker tidak
semata-mata mengandalkan kemampuan dan keterampilannya semata-mata mengandalkan
kemampuan dan keterampilannya semata,tetapi tidak terlepas dari pertolongan dan
bimbingan Tuhan yang Maha Esa. Bahwasanya Sumpah Asisten Apoteker Menjadi
pegangan hidup dalam menjalankan tugas pengabdian kepada nusa dan bangsa
Oleh karena itu seorang ahli farmasi
Indonesia dalam pengabdianya profesinya mempunyai ikatan moral yang tertuang
dalam Kode etik ahli Farmasi Indonesia :
I. Kewajiban Terhadap Masyarakat
1. Seorang ahli Farmasi harus mampu sebagi suri
teladan ditengah-tengah masyarakat
2. Seorang ahli Farmasi Indonesia dalam pengabdian
profesinya memberikan semaksimal mungkin pengetahuan dan keterampilan
yang dimiliki
3. Seorang ahli Farmasi Indonesia harus selalu aktif
mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan dibidang kesehatan
khususnya dibidang kesehatan khususnya dibidang Farmasi
4. Seorang ahli Farmasi Indonesia harus selalu melibatkan
diri dalam usaha – usaha pembangun nasional khususnya dibidang kesehatan
5. Sorang ahli Farmasi harus mampu sebagai pusat informasi
sesuai bidang profesinya kepada masyarakat dalam pelayanan kesehatan
6. Seorang ahli Farmasi Indonesia harus menghindarkan diri
dari usaha- usaha yang mementingkan diri sendiri serta bertentangan dengan
jabatan Farmasian
II. Kewajiban Ahli Farmasi terhadap teman sejawat
1. Seorang Ahli Farmasi Indonesia memandang teman sejawat
sebagaimana dirinya dalam memberikan penghargaan
2. Seorang Ahli Farmasi Indonesia senantiasa menghindari
perbuatan yang merugikan teman sejawat secara maretial maupun moral
3. Seorang Ahli Farmasi Indonesia senantiasa meningkatkan
kerjasama dan memupuk keutuhan martabat jabatan kefarmasiaqn,mempertebal rasa
saling percaya didalam menunaikan tugas
III.Kewajiban Ahli Farmasi Indonesia terhadap Profesi
Kesehatan Lainnya
1. Seorang Ahli Farmasi Indonesia senantiasa harus menjalin
kerjasama yang baik, saling percaya, menghargai dan menghormati terhadap
profesi kesehatan lainnya
2. Seorang Ahli Farmasi Indonesia harus mampu
menghindarkan diri terhadap perbuatan-perbuatan yang dapat
merugikan,menghilangkan kepercayaan,penghargaan masyarakat terhadap profesi
kesehatan lainnya
5.Kode Etik Profesi Kedokteran
Etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun
sebelum Masehi dalam bentuk Code of Hammurabi dan Code of
Hittites, yang penegakannya dilaksanakan oleh penguasa pada waktu itu.
Selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk sumpah
dokter yang bunyinya bermacam-macam, tetapi yang paling banyak dikenal adalah
sumpah Hippocrates yang hidup sekitar 460-370 tahun SM. Sumpah tersebut
berisikan kewajiban-kewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap, atau
semacam code of conduct bagi dokter.
World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun
1968 menelorkan sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional.
Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban
terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri.
Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode
Etik Kedokteran Internasional.
Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran
juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral
yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam
menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis
dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian
disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga
medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman
dalam melakukan penelitian di bidang medis.
Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat
dibendung dengan memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan
profesional dokter, seperti autonomy (menghormati hak pasien, terutama hak
dalam memperoleh informasi dan hak membuat keputusan tentang apa yang akan
dilakukan terhadap dirinya), beneficence (melakukan tindakan untuk kebaikan
pasien), non maleficence(tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien)
dan justice (bersikap adil dan jujur), serta sikap altruisme
(pengabdian profesi).
Pendidikan etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik
profesi dan prinsip moral kedokteran, dianjurkan dimulai dini sejak tahun
pertama pendidikan kedokteran, dengan memberikan lebih ke
arah tools dalam membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan,
dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu
(clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi
bagian pertimbangan dari pembuatan keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita
pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis
seseorang, terutama apabila teladan yang diberikan para seniornya bertolak
belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan.
IDI
(Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian pelaksanaan
etik profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah dan cabang,
serta lembaga MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) di tingkat pusat,
wilayah dan cabang. Selain itu, di tingkat sarana kesehatan (rumah sakit)
didirikan Komite Medis dengan Panitia Etik di dalamnya, yang akan mengawasi
pelaksanaan etik dan standar profesi di rumah sakit. Bahkan di tingkat
perhimpunan rumah sakit didirikan pula Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit
(Makersi).
Pada
dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar “hanya” akan
membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu pelanggaran etik
profesi dapat dikenai sanksi disiplin profesi, dalam bentuk peringatan hingga
ke bentuk yang lebih berat seperti kewajiban menjalani pendidikan / pelatihan
tertentu (bila akibat kurang kompeten) dan pencabutan haknya berpraktik
profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK setelah dalam rapat/sidangnya
dibuktikan bahwa dokter tersebut melanggar etik (profesi) kedokteran.
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika
kedokteran (tanpa melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang
oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai
pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi)nya. Persidangan MKEK bertujuan
untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat
ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan kasus dugaan
pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. Di kemudian
hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga
yang dimandatkan untuk didirikan oleh UU No 29 / 2004, akan menjadi majelis
yang menyidangkan dugaan pelanggaran disiplin profesi kedokteran.
MKDKI bertujuan menegakkan disiplin dokter / dokter gigi
dalam penyelenggaraan praktik kedokteran. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah
“disiplin profesi”, yaitu permasalahan yang timbul sebagai akibat dari
pelanggaran seorang profesional atas peraturan internal profesinya, yang
menyimpangi apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang (profesional) dengan
pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya
menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus tersebut
kepada MKEK.
Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan
terpisah dari proses persidangan gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh
karena domain dan jurisdiksinya berbeda. Persidangan etik dan disiplin profesi
dilakukan oleh MKEK IDI, sedangkan gugatan perdata dan tuntutan pidana
dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan umum. Dokter
tersangka pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat
diperiksa oleh MKEK, dapat pula diperiksa di pengadilan – tanpa adanya
keharusan saling berhubungan di antara keduanya. Seseorang yang telah diputus
melanggar etik oleh MKEK belum tentu dinyatakan bersalah oleh pengadilan,
demikian pula sebaliknya.
Persidangan
MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota)
bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan
sebagai penuntut. Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem
pembuktian sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata,
namun demikian tetap berupaya melakukan pembuktian mendekati
ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim.
Bab III
Penutup
Mungkin makalah yang kami buat jauh dari kata sempurna, namun hanya ini yang
dapat kami tulis berdasarkan ilmu yang kami punya. Kami harapkan kritik dan
saran yang sifatnya membangun agar kami bisa lebih baik lg pada penulisan
makalah selanjutnya.
Daftar Pustaka
1. Mann JM. Medicine and public health, ethics and
human rights. Hastings Center Rep. 1997(May-Jun);27:6–13.
2. Beauchamp D. Community: the neglected tradition of
public health. In: Beauchamp D, Steinbock B, eds. New Ethics for the
Public's Health.New York, NY: Oxford University Press; 1999.
3. Kass NE. An ethics framework for public health. Am J
Public Health. 2001;91:1776–1782. [
PMC free article]
[
PubMed]
4. Callahan D, Jennings B. Ethics and public health:
forging a strong relationship. Am J Public Health. 2002;92:169–176. [
PMC free article]
[
PubMed]
5. Roberts MJ, Reich MR. Ethical analysis in public
health. Lancet. 2002;359:1055–1059. [
PubMed]
6. Institute of Medicine. The Future of Public
Health. Washington, DC: National Academy Press; 1988.
http://udienz-ajaa.blogspot.com/2012/04/kode-etik-keperawatan.html